Catatan Pulang dari Tanah Suci: Cerita Gen Z yang Menemukan Diri Lewat Umroh
1. Sebuah Awal yang Tak Direncanakan
“biaya umroh sekarang berapa ya?” Pertanyaan itu muncul begitu saja di kepala Rafi, 23 tahun, saat tengah malam di depan laptopnya. Padahal, ia bukan tipe yang religius. Tapi entah kenapa, malam itu terasa berbeda. Timeline-nya penuh dengan video jamaah thawaf, dengan caption sederhana:
“Dipanggil itu bukan karena mampu, tapi karena Allah سبحانه وتعالى yang mau.”
Kata-kata itu menempel di hatinya. Ia mulai mencari tahu. Bukan karena ingin pamer spiritualitas, tapi karena ada ruang kosong di dalam dirinya yang tak bisa diisi dengan scrolling media sosial atau nongkrong semalaman.
2. Dunia Digital dan Doa yang Tak Pernah Usang
Rafi adalah tipikal Gen Z urban — hidupnya diwarnai notifikasi, konten motivasi, dan jadwal yang padat. Namun, di balik semua itu, ia merasa... kosong. Setiap kali melihat Ka’bah di layar, ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya.
Hingga akhirnya ia mulai menabung. Bukan jumlah besar, tapi konsisten. Ia juga mulai mencari informasi tentang cara berangkat tanpa ribet, dan menemukan bahwa sekarang banyak agen yang menyediakan jasa visa umroh mandiri — solusi praktis bagi anak muda yang ingin berangkat dengan cara fleksibel dan sesuai jadwal sendiri.
“Wow, ternyata bisa semudah itu,” gumamnya. Tapi yang sulit justru adalah menyiapkan hati.
3. Saat Langkah Pertama Menyentuh Tanah Suci
Hari keberangkatan itu tiba lebih cepat dari yang ia kira. Bandara terasa seperti gerbang menuju dunia lain. Dan ketika pesawat menurunkan roda di tanah Jeddah, matanya panas. Ia menatap jendela, melihat padang pasir terbentang sejauh mata memandang.
Bus menuju Makkah terasa panjang, tapi setiap doa yang ia dengar dari penumpang lain seolah jadi musik yang menenangkan. Ketika pandangan pertama kali tertuju ke Ka’bah — tubuhnya kaku, dadanya sesak, dan air matanya tak bisa ditahan.
“Aku benar-benar di sini,” bisiknya pelan.
Bukan foto, bukan video, tapi kenyataan. Ia melihat rumah Allah سبحانه وتعالى dengan matanya sendiri.
4. Thawaf: Melepaskan yang Tak Perlu
Malam itu, Rafi thawaf. Putaran demi putaran terasa seperti proses melepaskan beban hidup. Karier, ambisi, ekspektasi — semua larut bersama langkah-langkahnya mengelilingi Ka’bah.
Di tengah keramaian, ia justru menemukan keheningan. Setiap ucapan doa seperti berdialog langsung dengan hatinya yang dulu berisik.
“Ya Allah سبحانه وتعالى, terima kasih sudah memberiku waktu untuk berhenti sejenak.”
Di situ ia sadar: perjalanan spiritual bukan tentang jauh atau dekatnya jarak, tapi tentang tenangnya hati saat mengingat-Nya.
5. Madinah: Kota yang Mengajarkan Lembutnya Cinta
Setelah beberapa hari di Makkah, Rafi menuju Madinah. Begitu sampai di Masjid Nabawi, suasananya berbeda. Lembut. Hangat. Ia duduk di Raudhah — taman surga di bumi — dan menatap ke arah makam Rasulullah ﷺ.
Air matanya kembali jatuh.
“Rasulullah ﷺ, doakan aku agar istiqamah.”
Suara doa bergema lembut di sekitar. Ia menulis di catatan ponselnya:
“Di sini, aku belajar mencintai dengan cara yang lembut. Tanpa pamrih. Seperti cinta Allah سبحانه وتعالى kepada hamba-Nya.”
Ia merasa… pulang.
6. Pulang Tapi Tidak Sama
Setelah dua minggu, Rafi kembali ke Indonesia. Bandara Soekarno-Hatta terasa sama seperti saat ia berangkat, tapi dirinya tidak lagi sama. Ia menatap langit pagi Jakarta sambil tersenyum kecil.
Ia bukan lagi anak muda yang sibuk mengejar validasi. Kini, ia hanya ingin memperbaiki diri, memperbanyak doa, dan menabung lagi — bukan untuk gadget baru, tapi untuk kembali ke Tanah Suci suatu hari nanti.
Teman-temannya bertanya, “Apa sih yang kamu dapat dari umroh?” Ia menjawab pelan,
“Ketenangan. Dan keyakinan bahwa hidup ini bukan sekadar trending, tapi tentang hubungan antara aku dan Allah سبحانه وتعالى.”
7. Suara Hati Gen Z yang Terpanggil
Rafi mulai membagikan pengalamannya di media sosial. Bukan dengan gaya menggurui, tapi dengan narasi yang jujur dan apa adanya. Postingan itu viral. Banyak anak muda lain yang terinspirasi.
Beberapa DM masuk, bertanya:
“Bro, gimana caranya biar bisa umroh juga?”
Rafi menjawab,
“Mulai aja dulu. Niat, doa, dan cari info tentang jasa visa umroh mandiri. Sekarang semua bisa diatur sendiri, asal kamu mau jalanin prosesnya dengan ikhlas.”
Ia sadar, mungkin inilah dakwah kecilnya — mengajak generasinya untuk berhenti sejenak dari bisingnya dunia, dan menatap ke arah yang lebih abadi.
8. Penutup: Jalan Pulang yang Tak Pernah Usai
Kini, setiap kali mendengar azan, Rafi tersenyum. Suara itu tak lagi hanya panggilan shalat — tapi panggilan untuk pulang, berkali-kali. Pulang bukan hanya ke rumah, tapi ke hati yang penuh cahaya.
Ia tahu, perjalanan spiritual tidak berhenti di Makkah atau Madinah. Perjalanan itu terus hidup di setiap langkah, setiap doa, setiap kali nama Allah سبحانه وتعالى disebut.
“Aku mungkin sudah kembali ke Jakarta,” tulisnya di catatan terakhir, “tapi separuh hatiku masih thawaf di hadapan Ka’bah.”
Dan di bawah kalimat itu, ia menambahkan satu catatan kecil:
“Sampai jumpa lagi, Baitullah. Suatu hari nanti, aku akan kembali. Dengan cara yang lebih siap, dan hati yang lebih tenang.”
Thursday, October 09, 2025
Catatan Pulang dari Tanah Suci: Cerita Gen Z yang Menemukan Diri Lewat Umroh
1. Sebuah Awal yang Tak Direncanakan
“biaya umroh sekarang berapa ya?”
Pertanyaan itu muncul begitu saja di kepala Rafi, 23 tahun, saat tengah malam di depan laptopnya.
Padahal, ia bukan tipe yang religius. Tapi entah kenapa, malam itu terasa berbeda.
Timeline-nya penuh dengan video jamaah thawaf, dengan caption sederhana:
Kata-kata itu menempel di hatinya.
Ia mulai mencari tahu. Bukan karena ingin pamer spiritualitas, tapi karena ada ruang kosong di dalam dirinya yang tak bisa diisi dengan scrolling media sosial atau nongkrong semalaman.
2. Dunia Digital dan Doa yang Tak Pernah Usang
Rafi adalah tipikal Gen Z urban — hidupnya diwarnai notifikasi, konten motivasi, dan jadwal yang padat.
Namun, di balik semua itu, ia merasa... kosong.
Setiap kali melihat Ka’bah di layar, ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya.
Hingga akhirnya ia mulai menabung. Bukan jumlah besar, tapi konsisten.
Ia juga mulai mencari informasi tentang cara berangkat tanpa ribet, dan menemukan bahwa sekarang banyak agen yang menyediakan jasa visa umroh mandiri — solusi praktis bagi anak muda yang ingin berangkat dengan cara fleksibel dan sesuai jadwal sendiri.
“Wow, ternyata bisa semudah itu,” gumamnya.
Tapi yang sulit justru adalah menyiapkan hati.
3. Saat Langkah Pertama Menyentuh Tanah Suci
Hari keberangkatan itu tiba lebih cepat dari yang ia kira.
Bandara terasa seperti gerbang menuju dunia lain.
Dan ketika pesawat menurunkan roda di tanah Jeddah, matanya panas. Ia menatap jendela, melihat padang pasir terbentang sejauh mata memandang.
Bus menuju Makkah terasa panjang, tapi setiap doa yang ia dengar dari penumpang lain seolah jadi musik yang menenangkan.
Ketika pandangan pertama kali tertuju ke Ka’bah — tubuhnya kaku, dadanya sesak, dan air matanya tak bisa ditahan.
Bukan foto, bukan video, tapi kenyataan.
Ia melihat rumah Allah سبحانه وتعالى dengan matanya sendiri.
4. Thawaf: Melepaskan yang Tak Perlu
Malam itu, Rafi thawaf.
Putaran demi putaran terasa seperti proses melepaskan beban hidup.
Karier, ambisi, ekspektasi — semua larut bersama langkah-langkahnya mengelilingi Ka’bah.
Di tengah keramaian, ia justru menemukan keheningan.
Setiap ucapan doa seperti berdialog langsung dengan hatinya yang dulu berisik.
Di situ ia sadar: perjalanan spiritual bukan tentang jauh atau dekatnya jarak, tapi tentang tenangnya hati saat mengingat-Nya.
5. Madinah: Kota yang Mengajarkan Lembutnya Cinta
Setelah beberapa hari di Makkah, Rafi menuju Madinah.
Begitu sampai di Masjid Nabawi, suasananya berbeda. Lembut. Hangat.
Ia duduk di Raudhah — taman surga di bumi — dan menatap ke arah makam Rasulullah ﷺ.
Air matanya kembali jatuh.
Suara doa bergema lembut di sekitar. Ia menulis di catatan ponselnya:
Ia merasa… pulang.
6. Pulang Tapi Tidak Sama
Setelah dua minggu, Rafi kembali ke Indonesia.
Bandara Soekarno-Hatta terasa sama seperti saat ia berangkat, tapi dirinya tidak lagi sama.
Ia menatap langit pagi Jakarta sambil tersenyum kecil.
Ia bukan lagi anak muda yang sibuk mengejar validasi.
Kini, ia hanya ingin memperbaiki diri, memperbanyak doa, dan menabung lagi — bukan untuk gadget baru, tapi untuk kembali ke Tanah Suci suatu hari nanti.
Teman-temannya bertanya, “Apa sih yang kamu dapat dari umroh?”
Ia menjawab pelan,
7. Suara Hati Gen Z yang Terpanggil
Rafi mulai membagikan pengalamannya di media sosial.
Bukan dengan gaya menggurui, tapi dengan narasi yang jujur dan apa adanya.
Postingan itu viral. Banyak anak muda lain yang terinspirasi.
Beberapa DM masuk, bertanya:
Rafi menjawab,
Ia sadar, mungkin inilah dakwah kecilnya — mengajak generasinya untuk berhenti sejenak dari bisingnya dunia, dan menatap ke arah yang lebih abadi.
8. Penutup: Jalan Pulang yang Tak Pernah Usai
Kini, setiap kali mendengar azan, Rafi tersenyum.
Suara itu tak lagi hanya panggilan shalat — tapi panggilan untuk pulang, berkali-kali.
Pulang bukan hanya ke rumah, tapi ke hati yang penuh cahaya.
Ia tahu, perjalanan spiritual tidak berhenti di Makkah atau Madinah.
Perjalanan itu terus hidup di setiap langkah, setiap doa, setiap kali nama Allah سبحانه وتعالى disebut.
Dan di bawah kalimat itu, ia menambahkan satu catatan kecil:
Comments